Di fandom Tokusatsu, namanya dikenal sebagai Sutradara Tokusatsu Indonesia pertama. Lulusan New York Institute of Technology Manhattan ini sempat menjadi Production Assistant di Trans TV selama 2,5 tahun, sebelum akhirnya menjadi Sutradara di MNC Pictures sejak 2011, dan dipercaya menangani BIMA Satria Garuda di 2013. Uniknya, dia ternyata juga seorang Fans Tokusatsu.
![]() |
3 varian poster Satria Heroes yang dibuat oleh Michael Tju dkk. |
Penasaran gimana pengalamannya menyutradarai BIMA, BIMA-X, dan Revenge of Darkness? Apa aja kendala yang dialami selama shooting? Juga serial Tokusatsu favoritnya? Langsung simak wawancara berikut ini...
Selamat siang Mas, lagi sibuk apa nih?
Yang pasti sih ngga berhubungan sama perfilman, lagi coba usaha aja dulu. Sudah lama pengen coba usaha penginapan, tapi pas udah mau jalan, sikonnya malah tidak memungkinkan.
Sebetulnya kalau mau tetap shooting untuk blog(?) masih bisa, yang penting kita harus hati-hati sama proses shootingnya aja.
![]() |
Arnandha Wyanto juga menulis naskah untuk film yang rencananya rilis di bulan Juli kemarin. |
Setelah terakhir menyutradarai Satria Heroes: Revenge of Darkness, apa ngga kangen bikin Tokusatsu lagi?
Pasti kangen, karena jadi pengalaman yang berharga banget. Dari kecil suka, udah besar ada kesempatan, jadi kayak dreams come true. Tapi dengan sikon yang sekarang susah juga, interaksi dengan orang banyak, dengan aturan Covid untuk jaga kesehatan jadi susah.
Bedanya Tokusatsu dengan sinetron itu sebetulnya apa Mas?
Sinetron itu drama total. Kalau ada action pun paling cuma 5%. Sedangkan Tokusatsu itu lebih banyak aksi dan spesial efek, sinar, tembakan, dll.
Bukannya merendahkan sinetron, tapi aksinya apa sih, kalau pun ada stunt tapi ngga banyak. Sedangkan Tokusatsu, tiap episode harus ada aksinya, entah cuma untuk keren-kerenan atau membangun cerita, setidaknya ada 2 babak aksinya. Jadi bedanya ya persentase content aksi dan drama.
Kemudian juga sinetron itu biasanya standar cinta-cintaan, bukan berarti di tokusatsu ngga ada cinta-cintaan, tapi sinetron itu main fokusnya di cinta-cintaan, sedangkan tokusatsu tidak.
Apa itu berarti sudah sejak awal ada komposisi yang jelas drama sekian persen, aksi sekian persen?
Tidak ada plottingan khusus seperti itu, karena tergantung dapatnya naskah seperti apa. Di situ pentingnya peran penulis dalam pemetaan adegannya. Kada dapat naskah yang full aksi, sekitar 70-75%, kadang juga dapat yang banyak dramanya.
Kalau di BIMA, uniknya posisi penulis ini tidak ada di Indonesia, semua main idea dari Jepang. Jadi kalau ada perubahan, komunikasinya harus lewat beberapa pihak dulu baru kembali ke kita. Kalau sama-sama di Jepang mungkin lebih mudah kalau ada pemetaan spesifik seperti itu, tapi karena kendala jarak ini, harus lewat beberapa orang baru kembali ke kita.
Trus adaptasinya gimana?
Lebih terasa di season 2, karena season 1 sudah dapat naskan 90% sebelum shooting. Sedangkan di season 2 ada jembatan Produser Sachiko Maehata. Jadi tiap ada perubahan harus lewat dia dulu. Ada yang boleh ada yang tidak. Misal kita dapat naskah yang kurang menarik, ada yang harus diubah di lapangan, secara etika harus lapor dia dulu.
Misal di naskah tertulis jagoan loncat dari lantai 10, sementara lokasinya tidak ada, jadi boleh ada perubahan.
Dengan keberadaan Produser Jepang itu jadi lebih membantu?
Ya, jadi tidak lebih ribet, karena dia bisa bantu menjelaskan kendala di lokasi dengan para petinggi, terutama yang di Jepang.
![]() |
Kameramen Shinji Tomita, Sutradara FX Raiyan Laksamana, Produser Sachiko Maehata, & Sutarada Teruyoshi Ishii. Foto koleksi Raiyan Laksamana |
Kendala utama mengerjakan Tokusatsu kolaborasi ini sebetulnya apa Mas?
Komunikasi, kita harus udah jelas di awal maunya apa. Setelah Sutradara dapat naskah, semua dapat naskah, kita meeting bareng. Saya utarakan yang saya mau. Saya butuh input dari mereka, ini bisa apa ngga? Ngga bisa kenapa? Trus cari jalan tengah. Karena saya lebih suka ribet di awal, pusing di awal, daripada baru mikir pas shooting. Jadi sudah sesuai dengan apa yang saya mau dan tim bisa kerjakan.
Kalau begitu, berapa jarak dari meeting ke shooting?
Hampir 2 minggu untuk persiapannya. Di BIMA itu kita dibagi dua tim. Tim 1 mengerjakan 2 episode sekaligus, kemudian ganti ke Tim 2 untuk 2 episode berikutnya. Jadi saat Tim 1 sudah shooting, 1-2 hari kemudian saya di Tim 2 dapat naskah mulai bedah. Seminggu kemudian mereka break, kita meeting bareng, bahas art, kostum, lokasi. Kita persiapan, Tim 1 lanjut shooting lagi.
2 minggu untuk persiapan itu mepet ngga Mas?
Kalau dibilang mepet, tergantung sikon. Biasanya diakali dengan shooting drama dulu di hari pertama. Ini cukup efektif untuk memberi waktu bagi tim action untuk persiapan.
Apakah perbedaan bahasa jadi kendala?
Kadang. Karena jujur saya ngga ngerti bahasa Jepang. Sepatah dua patah mungkin masih bisa nangkep maunya ke mana. Walaupun ada penerjemah, tapi istilah perfilman itu tidak bisa apple to apple, jadi bisa ada maksud yang terjemahannya beda.
Contohnya?
Contohnya soal type shoot, karena penerjemah tidak bisa menjelaskan maksudnya. Di Jepang itu biasa menggunakan tipe shoot berdasarkan anatomi manusia: Bust, Waist. Sedangkan di sini pakai Close Up, Wide Shoot. Itu yang bikin penerjemah bingung. Bus (Bis) shoot?
Kalau secara verbal aja, kemungkinan salah tangkap itu lebih tinggi. Tapi kalau dibantu peragaan tubuh bisa lebih nyambung.
Contohnya waktu brief Shinji Tomita (DOP), pakai bahasa badan. Justru faktor perbedaan bahasa itu yang bikin seru, bisa memahami cara komunikasi dan cara kerja orang Jepang.
Salah satu yang bikin penasaran dari produksi Tokusatsu itu pengambilan gambar untuk grade kostum yang berbeda-beda. Ada kostum close up yang kualitasnya bagus, ada lagi kostum yang memang dibuat untuk aksi. Nah itu gimana take-nya?
Balik ke shoot list-nya mau gimana, kalau sudah tau rentetan shoot list-nya gampang. Sutradara aksi itu yang menentukan mau ambil closeup dulu atau lebar dulu. Jadi tidak ada kuncian pasti, tergantung shootnya mau yg mana dulu. Tapi kita selalu berusaha atur waktu, agar pemakaian kostum efektif. Jadi tidak sering ganti-ganti kostum, karena pemasangan ribet.
Untuk adegan fighting 5 menit eksekusinya berapa lama?
Terlalu teknis ya, tidak bisa diestimasi, karena tergantung tim aksi. Kadang adegan tertentu butuh latihan & persiapan lebih lama. Kalau mereka sudah paham, bisa cepat. Karena kadang namanya dunia kreatif, mereka mau coba hal baru. Jadi selama masih cukup waktunya, silahkan aja.
Makanya biasanya saya alokasikan satu hari full untuk aksi, jangan diganggu drama, jadi tidak tunggu-tungguan.
Dengan adanya sutradara aksi ini, apa tidak beririsan dengan scope Mas Nandha sebagai sutradara?
Batasnya sebetulnya jelas, saya ambil drama, dia ambil aksi. Di Bima itu sutradara aksi namanya Hiroki Asai. Kita selalu diskusi. Biasanya dia tanya, berapa lama nanti aksinya? 2mnt? 3mnt?
Nanti dia yang atur shoot-nya agar tidak terlalu banyak. Sebelum shooting kita duduk bareng. Menjelaskan dramanya di sini, masuknya begini. Begitu masuk aksi, sampai titik sini, nanti ada drama (dialog) lagi. Aksinya nanti dia yang atur. Tapi saya juga tetap mewanti-wanti, jangan sampai ada drama yang di luar rencana. Makanya komunikasi di awal itu penting.
![]() |
Sutradara Aksi Hiroki Asai & Sutradara Arnandha Wyanto |
Berarti saat aksi itu semua dialognya di dubbing ya?
Iya, walaupun misalnya ada aktor di lokasi, tapi mereka ngga mungkin melakukan itu, karena fokusnya sudah di drama atau adegan sebelumnya. Jadi kita lakukan dubbing belakangan, atau istilahnya ADR (Additional Recording).
Berapa lama jatah shooting untuk 1 episode?
Karena sistemnya per blok 2 episode, totalnya kurang lebih 8 hari untuk 2 episode. Shooting drama biasanya lebih cepat. Setelah atur jadwal dan lokasi, porsi dramanya bisa dihajar duluan, sambil memberikan waktu untuk tim aksi melakukan latihan/ persiapan. Setelah drama selesai, baru dilempar ke tim aksi. Nanti tinggal kita sambung halus adegannya.
Bagaimana dengan budget Tokusatsu yang katanya sangat besar itu?
Budget besar itu juga untuk efek teknis, jadi bukan hanya efek komputer. Tapi yang di lapangan seperti ledakan, mortar, itu ngga murah. Mau bikin ledakan pun harus ada izin dari tim gegana, ada biaya. Apakah areanya memungkinkan, karena tidak semua tempat boleh ada ledakan. Itu juga yang menyebabkan kita shootingnya di studio alam terus.
Pengalaman paling mengesankan selama mengerjakan Tokusatsu?
Ya proses dari shooting Tokusatsu itu sendiri. Misalnya berantem dengan tim Jepang. Yang bikin salut itu kita berantem karena mau bikin yang terbaik. Menyatukan visi. Bentrok karena ngotot-ngototan dengan Teri (Teruyoshi Ishii), Sutradara Jepang bahkan sempat ngga ngomong sampai beberapa hari.
Itu kejadian pas awal-awal (episode lawan monster cumi) waktu kita belum nemu celah untuk komunikasi dengan mereka.
Berantemnya bisa karena prinsip ada, perbedaan selera ada, karena sikon juga ada. Season dua juga sempat berantem lagi sekali.
Tapi pas meeting diobrolin, ngotot itu ternyata karena sama-sama ingin memberikan yang terbaik. Karena tidak semua cara Jepang bisa masuk ke penonton Indonesia.
Dari berantem itu justru nemu celahnya, jadi bisa saling mengerti & memahami. Jadi selanjutnya udah “Lo mau bikin gini-gini ya?” “Iya kok tau?”
“Dramanya gini ya? “Iya kok tau.”
![]() |
Sutradara Jepang: Hideki Oka & Teruyoshi Ishii |
Diantara Teri dan (Hideki) Oka mana yang lebih favorit?
Agak susah, karena masing-masing punya gaya sendiri. Teri itu old school, sedangkan Oka lebih berani coba sesuatu yang baru. Ada beberapa hal lebih baik cara Teri daripada Oka.
Oka itu pengen nyoba sesuatu yang baru terus, visinya selalu jelas maunya ke mana. Kadang keras kepala, tapi kita lihat akhirnya OK. Azazel yang akhirnya jadi baik itu hasil eksekusi Oka.
Kalau Teri di pengaturan shooting yang dibuat jadi lebih sederhana dan mulus, karena jam terbang dia sudah tinggi. Saya kemudian ambil jalan tengah, pelajari cara mereka dan dijadikan satu.
Apa sebelumnya pernah cari tahu karya-karya mereka sebelumnya?
Ngga. Jujur malah dikasih tau waktu meeting di awal, kalau Teri pernah megang beberapa episode Ultraman Gaia. Baru tahu kalau ternyata pengalaman mereka lebih banyak setelah ngobrol langsung. Setelah itu baru mulai cari-cari di Youtube, akhirnya jadi lebih paham gayanya.
![]() |
Karya Sutradara Arnandha Wyanto di 2016 |
Nah kalau gaya Mas Nandha ini yang seperti apa?
Kalau saya lebih pengen nyambungin drama & action lebih mulus. Contoh eps. 23 saat akhirnya Torga mau membantu. Yang pertama kali berantem bertiga VS monster lebah dan kepiting yang jadi satu.
Di naskah awal itu, Torga bisa dikalahkan dengan mudah. Padahal sebelumnya dia kuat bisa menghancurkan markas dalam sekali tembak. Jadi kalau dia harus kalah, ada alasan yang jelas. Diatur porsi drama dan aksinya nyambung, biar lebih masuk akal sesuai karakter. Jadi ceritanya saya rombak, Torga kalah dalam bentuk manusia, tidak kalah setelah dia berubah. Baru kemudian dia sadar, tidak boleh egois, dan berujung kerjasama. Kalau dibuat seperti itu, jadi lebih enak.
Kita juga ada pertanyaan dari penonton, ada yang tanya camera shoot di BIMA itu mirip gaya sinetron 90an, apa memang disengaja biar jadi ciri khas?
Season satu jujur karena masih meraba, cari celah teknis, apakah benar ini yang kita mau atau tidak. Kalau disebut konsep, itu sebetulnya konsep standar. Karena memang standar shooting pada umumnya memang seperti itu. Kalau ada yang merasa, ya mungkin karena memang kita besar di era itu, jadi tanpa sadar terbawa. Tapi bukan konsep yang disengaja, murni karena masih awal jadi memang belum tau kondisi di lapangan.
Kemudian ada pertanyaan lagi, kenapa Markas Vudo lantainya keramik?
Wah, saya tidak bisa ngomong banyak tentang episode itu, karena dikerjakan oleh tim lain. Saya rasa karena sulit cari lokasi. Kenapa akhirnya jadi keramik, saya tidak tahu. Saya tidak bisa komentar banyak, karena bukan episode saya.
Ada lagi nih pertanyaan, Azazel itu sudah mati atau belum?
Sebenernya saya sendiri ngga tau. Saya kira dia sudah mati di ujung season dua. Saya juga ngga tanya detail dan ambil pusing. Tergantung yang punya karakter, karena saya cuma jalanin naskah, "Oh dia masih hidup."
![]() |
Salah satu forum online yang masih aktif membicarakan Satria Heroes. |
Kalau kita bicara sosmed, saat itu BIMA & BIMA-X cukup hype dan mengundang banyak perbincangan. Apakah kru juga memantau?
Iya, karena kita pengen tau arahnya mau dibawa ke mana, penonton sukanya gimana. Kalau belakangan terlihat lebih banyak aksi, ya karena kita tangkap banyak anak-anak yang pengen lihat aksi.
Gimana kesannya waktu ketemu Kotaro Minami?
Tiba-tiba bisa ketemu seneng banget. Ngeliat dia saya jadi kayak orang tolol. Kalau pengalaman shooting ngga ada, karena pas episode dia bukan saya yang megang. Dia sombong? Pas saya main ke lokasi shooting sih down to earth, nyantai. Ngga lupa saya juga foto bareng.
OK, gimana perasaan mas Nandha setelah Kai secara resmi diumumkan cuma akan lanjut di animasi?
Sebagai penggemar kecewa, karena Tokusatsu itu ya seperti yang kita kerjain kemarin, orang pakai kostum real. Tapi kalau secara keamanan dan kesehatan ya ini cara yang paling aman. Secara ide kreatif masih bisa tetap berjalan, tapi tidak melibatkan banyak orang yang bisa mengakibatkan penularan Covid.
Tapi bukan kecewa, lebih ke sedih ya. Karena kostumnya keren banget.
Kalau kita bicara Tokusatsu, apa genre dan serial yang jadi favorit Mas Nandha?
Kamen Rider. Ultraman ada beberapa, suka banget Ultraman Nexus yang punya deunamist yang berbeda-beda. Kalau Sentai itu love & hate, karena kerasa anak-anak banget, ada beberapa yang keren kayak Gaoranger, Gokaiger. Tapi dari semua yang nyantol banget ya Gaban, Kenji Ohba.
Kamen Rider Saber Full Trailer dengan Teks Indonesia
Posted by Aria W. Suriadikusuma on Wednesday, 29 July 2020
Gimana komentarnya tentang Kamen Rider terbaru?
Bakalan nonton, tapi nunggu Zero One habis dulu. Baru nonton sampai 11, setelah itu baru lanjut nonton yang baru.
Apa sampai saat ini masih berhubungan baik dengan kru Jepang?
Komunikasi masih ada, tanya kabar, sibuk apa. Saling follow. Tapi kalau untuk tawaran kerja di Jepang ngga ada. Karena duit ke sana mahal, kalau pun ikut, akan merepotkan. Karena tidak bisa bahasa Jepang.
Terakhir, apa pesan-pesan Mas Nandha untuk Fans Tokusatsu di Indonesia?
Kalau memang punya ide, coba bikin aja, penuhin aja. Mungkin ngga sekarang jalan, mungkin nanti, tapi yang penting basic-nya udah ada dulu aja. Nanti kalau Covid udah hilang, kalian bisa jual ide kalian. Manfaatkan waktu senggang ini untuk mewujudkan ide.
Jangan lupa jaga kesehatan!
Wawancara lengkap dengan Arnandha Wyanto bisa kalian simak di video berikut ini. Jangan lupa subscribe dan like ya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar